Tidak Ada Perubahan di Fajr

ADALAH Waktu Subuh di Indonesia harus berubah?

Pertanyaan ini sudah dilontarkan sejak satu dekade terakhir. Namun, pada paruh kedua Desember 2020, seolah-olah Anda mendapatkan amunisi tambahan ketika unsur pembantu pimpinan ormas besar Islam mengusulkan perubahan awal waktu Subuh di Indonesia.

Meskipun itu masih merupakan proposal yang harus dibuat–tanfiz.dll Namun, oleh pimpinan pusat ormas yang bersangkutan, namun saran tersebut cukup untuk membuat sejumlah astronom di Indonesia menerima pertanyaan. Ada apa dengan waktu Subuh?

Cahaya fajar dan cahaya zodiak

Waktu sholat tergantung posisi Matahari, atau lebih tepatnya waktu sholat suatu titik di muka bumi ditentukan oleh paparan pancaran sinar matahari yang diterima pada titik tersebut.

Untuk lima waktu sholat wajib, paparan sinar matahari harus langsung. Bukan hasil pantulan atau hamburan dari benda lain yang terkena sinar matahari.

Awal waktu Dzuhur didasarkan pada pancaran sinar matahari dalam kondisi transit tengah hari, sehingga membentuk garis lurus utara-selatan yang sebenarnya.

Awal waktu Ashar ditentukan oleh pancaran sinar matahari yang menampakkan benda tegak sedemikian rupa sehingga panjang bayangan persis sama dengan panjang benda itu sendiri setelah mengoreksi panjang bayangan selama transit tengah hari.

Awal waktu Maghrib didasarkan pada datangnya cahaya senja. Awal waktu Isya ditentukan oleh dimulainya lenyapnya cahaya senja dan dimulainya waktu Subuh berdasarkan awal fajar.

Di awal waktu Isya dan Subuh, lingkaran Matahari tidak terlihat seperti di awal waktu shalat lainnya. Hanya pancaran cahaya yang menjadi penanda, sebagai konsekuensi lewatnya pancaran sinar matahari melalui lapisan demi lapisan atmosfer.

Dalam kasus waktu Subuh, pancaran cahaya akan bermanifestasi sebagai cahaya fajar atau fajar sadiq (senja timur).

Salah satu kurva dari data Banyuwangi tertanggal 25 Agustus 2020 yang menggambarkan persistensi cahaya zodiak (pola linier) dan fajar (pola eksponensial).  Pada kurva ini fajar cahaya terjadi pada ketinggian matahari minus 20 derajat. LF PCNU Gresik / Hasan & Muid, 2020 Salah satu kurva dari data Banyuwangi tanggal 25 Agustus 2020 yang menggambarkan masih adanya cahaya zodiak (pola linier) dan fajar (pola eksponensial). Pada kurva ini fajar cahaya terjadi pada ketinggian matahari minus 20 derajat.

Ada narasi ilmiah yang luar biasa di balik kemunculan cahaya fajar setiap hari.

Bumi kita adalah benda angkasa yang berbentuk geoid dan ditutupi oleh lapisan molekul udara yang disebut atmosfer.

Kepadatan udara tertinggi berada di lapisan paling bawah (troposfer) yang memanjang hingga ketinggian 20 km di atas khatulistiwa. Di lapisan inilah proses cuaca dilakukan. Kepadatan udara berkurang dengan bertambahnya ketinggian, dan pada ketinggian 120 km, kepadatan udara menjadi sangat rendah sehingga hampir menyerupai ruang hampa.

Di atas batas ketinggian ini, molekul udara masih ditemukan tetapi dengan kepadatan yang sangat rendah.

Udara memiliki karakter yang mirip dengan air sebagai fluida. Oleh karena itu, atmosfer bumi juga memiliki sifat optik yang mampu membiaskan berkas cahaya dengan mematuhi hukum Snellius.

Jika dilihat dari suatu titik di muka bumi, sifat optik atmosfer akan paling kuat saat berada di ufuk. Setiap benda langit yang kita lihat di cakrawala pada dasarnya benar-benar terbenam.

Namun, mereka masih bisa terlihat karena atmosfer bumi membiaskan cahaya benda-benda langit tersebut sedemikian rupa sehingga posisinya ‘terangkat’ lebih dari setengah derajat dari aslinya dalam posisi menuju titik puncak.

Sifat optik serupa bertanggung jawab atas kehadiran fajar. Jauh sebelum matahari terbit, pancaran cahayanya menyentuh bagian atas atmosfer tepat di bawah ufuk timur dari suatu titik di muka bumi.

Dengan demikian, berkas cahaya dibiaskan sedemikian rupa pada setiap lapisan. Hingga akhirnya ketika melewati lapisan paling bawah, pembiasan membuat titik berkas cahaya menuju titik tersebut.

Kita akan melihatnya sebagai cahaya keputihan yang membentang secara horizontal di ufuk timur.

Awalnya sangat tipis, kemudian semakin tebal seiring waktu. Penebalan cahaya fajar diikuti dengan perubahan tampilan menjadi kemerahan lalu kebiruan. Perubahan ini disebabkan oleh hamburan Rayleigh oleh partikel mikron di atmosfer.

Source