Mari mengenal lebih dekat ambisi Johor Darul Takzim yang baru saja merekrut Syahrian Abimanyu.
Klub Malaysia, Johor Darul Takzim (JDT), langsung menjelma menjadi kiblat baru sepakbola Asia Tenggara dalam dekade ini. Sebelum tahun 2013 atau saat masih bernama Johor FC, tim berjuluk Macan Selatan ini bisa dibilang tim pas-pasan kasta tertinggi di Indonesia. sepak bola Malaysia.
Johor FC sebenarnya adalah tim nomor dua di Negara Bagian Johor. Didirikan pada tahun 1972 dengan nama Badan Kemajuan Ekonomi Negara (PKENJ FC) Johor FC, klub ini bersaing dengan klub asosiasi milik Negara Johor lainnya yaitu Johor FA yang sudah ada sejak tahun 1955.
Sejak era keterbukaan kompetisi sepak bola Malaysia pada tahun 1998, pamor Johor FC mulai naik dibanding sang kakak, Johor FA. Meski tidak pernah menang, setidaknya sang adik sering memiliki ranking akhir yang lebih baik dari sang kakak.
Sementara Johor FC dan Johor FA terus menjadi tim yang kurang berprestasi di sepak bola Malaysia, Putra Mahkota Johor, Tunku Ismail Idris, turun gunung untuk menghidupkan kembali sepak bola Johor. Pada 2012, ia menjadi presiden Asosiasi Sepak Bola Nasional Johor, otoritas sepak bola tertinggi negara bagian. Johor FC dan Johor FA akhirnya digabung menjadi satu kesatuan yaitu Johor Darul Takzim FC. Pemain muda Johor FC menjadi tim pertama karena berlaga di Malaysian Super League (MSL) dan Johor FA menjadi Johor Darul Takzim II karena terakhir berlaga di kasta kedua, Malaysian Premier League (MPL).
Secara resmi, pada 2013, Johor Darul Takzim menjadi satu-satunya klub yang mewakili negara bagian Johor di Malaysia. Ambisi besar diawali musim itu dengan mendatangkan eks penyerang timnas Spanyol, yakni Dani Guiza, meski pada akhirnya tidak meraih satu pun trofi. Selain bintang internasional, bintang lokal juga didatangkan, antara lain Norshahrul Idlan Talaha, Safee Sali, dan Safiq Rahim, yang juga dibawa ke selatan untuk memperkuat JDT.
Musim berikutnya, JDT sukses mendatangkan dua pesepakbola internasional asal Argentina, yakni Luciano Figueroa dan Pablo Aimar. Alhasil, trofi juara Liga Malaysia pertama di era profesional berhasil mendarat di Negeri Johor.
Setelah mendapatkan trofi juara pertama di tahun 2014, gelar MSL seolah menjadi hal yang rutin dan wajib bagi JDT. Rutinitas lain yang sering dilakukan JDT adalah terus mendatangkan pesepakbola asing dan lokal ternama di setiap musimnya, terutama pemain muda.
Jangan berhenti sampai di situ. Karena terlalu seringnya merebut gelar liga, bahkan tak terkalahkan dalam beberapa musim, mendorong JDT menaikkan target utama. Beban target diperparah dengan menempatkan kompetisi klub Asia sebagai ambisi tertinggi Macan Selatan.
Piala AFC 2015 menjadi titik di mana JDT melejit di level Asia. Pasukan Roberto Carlos Mario Gomez sukses menjuarai kompetisi kasta kedua Asia sekaligus menjadikan mereka klub Malaysia pertama yang berjaya di level Asia. Padahal, ada faktor keberuntungan di balik suksesnya merebut trofi juara Piala AFC, yakni kemenangan berjalan didapat di babak semifinal sehingga Macan Selatan berhasil melenggang ke babak teratas.
Sejak memenangkan trofi Piala AFC, JDT berada di atas segalanya. Klub-klub pesaing Malaysia lainnya jauh tertinggal dalam berbagai aspek, salah satunya adalah kemewahan fasilitas latihan yang juga menjadi perbincangan para pecinta sepak bola Indonesia. JDT bahkan telah dijadikan rujukan beberapa klub asal Indonesia, salah satunya Borneo FC. Presiden klub sekaligus pemilik Borneo FC, Nabil Husein mengaku tak malu mengaku banyak belajar dari JDT. Nabil bahkan mengirim pesan kepada Tunku Ismail Idris, “Seorang panutan [Tunku Muda Johor], kita perlu melihat apa yang dia ciptakan. Karena itu [Borneo] menuju sukses seperti JDT. Pesan disambut hangat oleh Tunku.
Level JDT yang sudah di atas klub Malaysia lainnya membuat Harimau Selatan harus lebih memikirkan soal target. Liga Champions Asia kini dianggap JDT sebagai kompetisi utama atau ujian nyata di setiap musim. Tentunya untuk sampai kesana JDT harus memenangkan MSL. Sejak 2019, sang juara MSL sudah mendapatkan slot otomatis di fase grup Liga Champions Asia.
Sejak 2019, JDT telah mendatangkan sederet pesepakbola asing dengan profil berkelas. Mulai dari Diogo Santos, Aaaron Iguez, hingga Mauricio Nascimeto. Namun, JDT menyadari untuk mendongkrak performa di Asia, mereka tidak bisa terus mengandalkan pemain asing. Persoalannya terletak pada sektor pemain lokal yang levelnya masih kalah jauh dengan kualitas pesepakbola asal Korea Selatan, Jepang atau Australia.
Perlahan JDT mulai berinvestasi dengan mengumpulkan pesepakbola muda terbaik Malaysia, seperti Akhyar Rasyid dan Safawi Rasid. Selain itu, JDT juga mulai gemar merekrut dan membantu proses naturalisasi pesepakbola asing atau keturunan Malaysia, seperti Natxo Insa, La’Vere Corbin-Ong, atau Matthew Davies.
Sejak debutnya di fase grup Liga Champions 2019 hingga musim ini, JDT masih kalah bersaing dengan klub Jepang, Korea Selatan, dan China. Namun, perlahan mereka mampu memperbaiki penampilan. Dalam pertandingan kandang terakhir musim lalu, JDT mengalahkan tim teratas J.League Kashima Antlers, dengan skor 1-0. Kesuksesan serupa terulang di pertandingan kandang pertama musim ini. Suwon Bluewings dikalahkan 2-1. Sayangnya, pandemi Covid-19 mencegah petualangan JDT lebih lanjut di Asia. Sisa pertandingan grup yang digelar di Qatar November lalu dilakukan tanpa partisipasi JDT, yang tak mendapatkan izin perjalanan dari pemerintah Malaysia.
Supremasi ditambah investasi jor-joran JDT membuat MSL tampak seperti “liga petani” yang hanya didominasi oleh tim yang sama dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, ambisi JDT di Asia dapat muncul kebanggaan bangsa dari komunitas Malaysia, meski bukan dari Johor. JDT kini bisa dikatakan sebagai kebanggaan warga Malaysia di sepakbola Asia, meski dampak negatifnya membuat gap dengan klub Malaysia lainnya.
Bukan karena klub Malaysia lain tidak punya uang sebanyak JDT. Jika melihat data dari berbagai sumber, pendapatan negara bagian Johor masih lebih kecil dibandingkan dengan Negeri Selangor atau Kuala Lumpur Alliance. Namun, seperti yang dikatakan oleh Rasiman asisten pelatih Madura United yang pernah bekerja sebagai asisten pelatih di T-Team, hanya JDT atau orang-orang besar di Johor yang memiliki ambisi besar dalam sepakbola. Mereka juga paham bagaimana mengelola klub dengan visi besar.
Mungkin secara tidak langsung ambisi besar JDT memicu privatisasi yang menjadi kewajiban bagi klub sepak bola Malaysia. JDT digunakan sebagai acuan bagaimana mengelola klub secara profesional. Hal ini sekaligus membuktikan visi Tunku Ismail Idris yang pernah menjabat sebagai presiden FAM selama setahun, untuk membantu mempromosikan klub sepak bola Malaysia selain JDT sehingga sepak bola Malaysia menjadi lebih baik.