Penyebab dan Terapi Pemulihan untuk Impotensi

Jakarta, CNN Indonesia –

Ketidakmampuan atau disebut juga disfungsi pemasangan merupakan salah satu masalah kesehatan yang bisa dialami oleh pria.

Bagian Urologi RS Cipto Mangunkusumo, Nur Rasyid menjelaskan yang dimaksud dengan disfungsi ereksi atau impotensi adalah ketidakmampuan untuk mencapai ereksi secara memadai dan mempertahankannya agar hubungan seksual menjadi memuaskan.

Sedangkan ereksi sendiri mengacu pada proses kompleks yang berkaitan dengan sistem saraf, hormon (endokrin), dan sistem pembuluh darah (vaskular).

“Dulu disfungsi ereksi dianggap sebagai masalah psikologis, kemudian sejak tahun 1990-an terbukti ada gangguan fisik atau kelainan organis,” kata Nur, beberapa waktu lalu.

Berdasarkan penelitian tahun 2013 yang dilakukan pada pasien pendamping, prevalensi rata-rata global disfungsi ereksi sekitar 10 persen.

Sementara di Indonesia, Nur dan tim di RSCM menemukan prevalensi disfungsi ereksi mencapai 36,6 persen pada pria usia 20-80 tahun.

Menurut Nur, angka tersebut cukup besar. Faktanya, kebanyakan pasien mengidap penyakit bawaan yang juga memengaruhi disfungsi ereksi.

Ia juga mencatat bahwa angka prevalensi ini sebenarnya bervariasi menurut usia. Semakin Anda menua, semakin besar prevalensi disfungsi ereksi.

Lantas apa saja penyebab disfungsi ereksi atau impotensi?

– Bertambahnya usia
– Diabetes mellitus
– Hipertensi
– Penyakit kardiovaskular
– Kebiasaan merokok
– Stres
– Kerusakan saraf atau tulang belakang
– Konsumsi alkohol secara teratur dan dalam jumlah besar
– Kadar testosteron rendah
– Obat-obatan tertentu
– Kondisi urologi termasuk penyakit prostat

Meski terkait kehidupan seksual dan keharmonisan dalam keluarga, hanya 50 persen orang yang memiliki pengetahuan tentang disfungsi ereksi. Padahal, kata Nur, justru wanita atau pasangan yang lebih paham soal disfungsi ereksi.

Diagnosis dan terapi

Pasangan muda Asia dengan masalah hubungan tampak tertekan dan frustrasi.Foto: iStockphoto / imtmphoto
ilustrasi impotensi

Untuk mengetahui gejala impotensi atau disfungsi ereksi, Nur mengatakan ada serangkaian pemeriksaan yang perlu dilakukan.

Ereksi bisa dinilai dari tingkat kekerasannya. Biasanya ada skor 1-4, di mana skor 4 adalah skor ereksi optimal.

Namun, pria tidak harus mencetak 4 karena pada skor 3 penetrasi masih bisa dilakukan. Sedangkan skor 1 dan 2, bila penis dinilai tidak memungkinkan untuk penetrasi, maka dikenal sebagai disfungsi ereksi.

Pemeriksaan disfungsi ereksi akan dilanjutkan jika terdapat kondisi tertentu antara lain riwayat trauma pada panggul, kelainan bentuk penis, kelainan hormonal dan metabolisme yang kompleks serta gangguan psikoseksual kompleks.

Karena ini terkait dengan kondisi psikologis, ada juga tes untuk menentukan apakah pasien mengalami disfungsi ereksi organik atau psikogenik. Tes dilakukan dengan menggunakan perangkat Nocturnal Penile Tumescence and Rigidity atau ereksi nokturnal.

“Saat tidur dipasang alat untuk mengetahui berapa kali penis mengalami tegang, apakah cukup? Oh, kalau cukup berarti organik baik,” kata Nur.

Ia melanjutkan, “Kadang ada pasien yang merasa sehat tapi kalau dibuktikan dengan alat ternyata organnya kurang bagus. Atau organnya bagus tapi vena (terkait dengan penutupan pembuluh darah) ada. tidak baik.”

Sedangkan untuk terapi disfungsi ereksi, dari tahun ke tahun terus berkembang.

Dari awal melalui pembedahan atau implantasi pada tahun 1973, kemudian berkembang melalui suntikan, alat vakum, obat Viagra, hingga saat ini hadirnya terapi gelombang kejut.

1. 1973 – prostesis penisSaat ini, terapi disfungsi ereksi hanya berupa operasi atau implantasi.

2. 1982 – intracavernosal pemberian obat vasoaktif, terapi injeksi. Saat pasien disuntik obat, penis bisa langsung ereksi. Sampai saat ini masih digunakan meski jarang.

3. 1983 – kekosongan, atau alat hisap dan dapat digunakan oleh pasien secara mandiri setelah dididik oleh tenaga medis.

Alat seperti tabung untuk memasukkan penis, setelah disedot penis seperti diikat dengan karet. Alat ini cukup populer di Eropa dan Amerika. Meski terjadi ereksi instan, namun penggunaan alat ternyata lebih memuaskan pasangan, bukan pemakainya.

4. 1998 – ada obat minum yang dikenal sebagai Viagra. Dulu, Viagra hanya diminum sebelum berhubungan seks. Namun kini ada obat dengan dosis lebih kecil dan dikonsumsi setiap hari.

Namun konsumsi obat harus sesuai dengan petunjuk dokter. Selain itu, obat tersebut memiliki kontraindikasi terhadap kelompok obat nitrat. Biasanya obat untuk penyakit jantung termasuk golongan nitrat.

5. 2013 – Extracorporeal Shock Wave Therapy (ESWT), terapi gelombang kejut untuk memperbaiki pembuluh darah. Terapi ini terutama digunakan pada penderita disfungsi ereksi akibat gangguan aliran darah penis akibat penyakit tertentu seperti hipertensi dan diabetes.

Nur menambahkan, terapi disfungsi ereksi lainnya berupa prostesis penis. Ini adalah baris terapi terakhir ketika terapi lain tidak dapat membantu.

Ia hanya mengatakan bahwa pengobatan atau terapi untuk disfungsi ereksi biasanya mengutamakan pendidikan seks, kemudian minum obat.

Jika tidak ada perubahan, beberapa opsi perawatan seperti vakum, injeksi atau gelombang kejut akan dibuat.

Pilihan pengobatan masih disesuaikan dengan harapan pasien. Nur menegaskan, harapan tersebut tentunya harus nyata atau sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Namun, harus diakui bahwa fungsi atau kemampuan seksual yang baik dapat meningkatkan perasaan sejahtera secara keseluruhan.

“Pria yang usianya lebih tua dan masih memiliki kemampuan seksual memiliki perasaan sehat. Ternyata kesehatan seksual tidak hanya tampak pada seks, tetapi juga kesehatan secara umum,” imbuhnya.

(els / agn)

[Gambas:Video CNN]


Source