Pemerintah Akan Lindungi Ahmadiyah & Syiah

Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan pemerintah akan menegaskan hak-hak beragama warga Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia. Yaqut tidak ingin kelompok agama terusir dari kampung halamannya karena perbedaan keyakinan.

“Mereka warga negara yang harus dilindungi,” kata Yaqut seperti dikutip CNN Indonesia, Jumat (25/12/2020).

Pria yang akrab disapa Gus Yaqut ini mengatakan Kementerian Agama akan memfasilitasi dialog yang lebih intensif untuk menjembatani perbedaan selama ini.

“Perlu dialog yang lebih intensif untuk menjembatani perbedaan. Kementerian Agama akan memfasilitasi,” ujarnya.

Pernyataan itu menanggapi permintaan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra agar pemerintah menegaskan kelompok minoritas.

Azyumardi menyampaikan hal tersebut secara online pada forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta.

“Apalagi bagi yang terpinggirkan lalu ada penganiayaan, perlu penegasan,” kata Azyumardi.

Menurut dia, pemerintah sepertinya tidak memberikan penegasan kepada kelompok minoritas. Misalnya saat ada pemeluk agama yang ingin membangun tempat ibadah.

Azyumardi mengatakan, pengungsi Syiah di Sidoarjo dan kelompok Ahmadiyah di Mataram dianiaya oleh kelompok Islam ‘berjubah’.

Kasus intoleransi, menurut dia, tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam, tetapi juga dialami penganut agama lain di Indonesia.

“Di wilayah yang mayoritas beragama Kristen, sulit bagi umat Katolik untuk membangun gereja. Di wilayah yang mayoritas beragama Katolik, umat Kristiani juga sulit dibangun,” kata Azyumardi.

Ia menilai, kelompok yang relasi kekuasaannya minim di satu lokasi akan sulit mendapat restu pendirian rumah ibadah dari kelompok yang relasi kekuasaannya lebih kuat.

“Ini sebenarnya soal relasi kuasa. Siapa yang mengira dia mayoritas. Jadi, hal-hal seperti ini, relasi kekuasaan itu harus diatur (oleh Pemerintah). Bagaimana bisa adil,” ujarnya.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 mendasarkan pembangunan rumah ibadah berdasarkan komposisi penduduk untuk pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan / desa. Pembangunan rumah ibadah dinilai sulit dilakukan bila relasi kuasa tidak merata.

Azyumardi menilai, faktor pemekaran daerah yang tidak diperhatikan pemerintah juga ikut andil dalam masalah ini.

“Saya kira perlu diatur ulang ya. Bagaimana partai yang berkuasa merasa kurang toleran. Jadi, saya masih butuh penegasan dari tingkat nasional,” kata Azyumardi.

(sef / sef)


Source