Kerja sama pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk mematahkan hoaks tentang vaksin Covid-19

ILUSTRASI. Kerja sama pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mematahkan hoaks soal vaksin Covid-19.

Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk memerangi hoax agar Indonesia bisa cepat keluar dari pandemi. Di Indonesia, gerakan anti vaksin semakin kuat berdasarkan keyakinan. Penolakan vaksin bahkan telah dipublikasikan di jurnal bergengsi The Lancet and Elsevier.

“Mudah bagi kelas menengah ke bawah untuk percaya [hoaks] Apalagi kalau berita itu disampaikan oleh tokoh-tokoh, ”ujar Sekretaris Eksekutif Kelompok Penasihat Teknis Indonesia Bidang Imunisasi (ITAGI), dr. Julitasari Sundoro, dalam talkshow bertajuk “Tolak dan Hindari Hoax” yang diselenggarakan oleh Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN).

Ada sejumlah mitos, seperti vaksin berbahaya. Ada juga klaim dari ahli gizi yang menyatakan bahwa jika kuman disuntikkan ke anak yang kekebalannya menurun, kuman tersebut akan menjadi aktif bahkan menginfeksi tubuh penerimanya. “Ini adalah hal-hal yang salah, menyesatkan. Sebenarnya vaksin yang akan kita pakai sudah tidak aktif, ”ujarnya.

Klaim lain juga menyebutkan bahwa menangani Covid-19 tidak perlu vaksin karena hanya membuang-buang anggaran. Uang lebih baik dihabiskan untuk tes PCR. Padahal, PCR diperlukan untuk skrining temuan kasus baru.

Sedangkan vaksin digunakan untuk pencegahan. Hoaks lain tentang vaksin Covid-19 adalah tudingan uji klinis yang digelar di Bandung itu sepele karena jumlahnya terlalu sedikit, hanya 1.620 orang. Faktanya, uji klinis vaksin dilakukan secara multisenter di beberapa negara lain dengan jumlah total 30.490 orang.

Baca juga: Jokowi menegaskan, tidak hanya peserta BPJS yang bisa mendapatkan vaksin Covid-19

Julitasari mengatakan, ada juga dalil yang menuduh gerakan anti vaksin terbukti salah. Misalnya tentang tuduhan vaksin MMR menyebabkan autisme. Faktanya, data yang dimuat di majalah Lancet tidak benar. Majalah tersebut kemudian mencabut artikelnya pada 6 Februari 2010. Selain itu, banyak penelitian yang membuktikan bahwa tuduhan vaksin MMR menyebabkan autisme tidak terbukti.

“Berita televisi pada 3 Desember 2020 menyebutkan ada pasien yang mengeluhkan pasca imunisasi di Tulangbawang. Padahal, vaksinnya baru masuk tadi malam,” ujarnya.

Mitos lain seputar vaksin Covid-19 misalnya, sistem imun bayi belum bisa menangani berbagai vaksin. Faktanya, semakin kecil anak semakin baik imunisasi. Vaksin hepatitis B, misalnya, diberikan sejak bayi. Begitu pula dengan vaksin Polio yang diberikan saat bayi masih dirawat di rumah sakit. Vaksin tersebut akan memberikan respon imun terhadap antigen yang masuk.

Ia meminta masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh isu hoax tentang vaksin. Julitasari mengajari masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar melalui sumber yang dapat dipercaya dan dipercaya.

Baca juga: Jokowi berharap tidak ada masyarakat yang menolak vaksinasi corona

Ketua Presidium Masyarakat Anti Pencemaran Nama Baik Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, mengatakan saat pandemi, Manfindo mencatat jumlah hoax Covid-19 sangat masif. Data Mafindo, pada 2018, ditemukan 997 hoax. Jumlah ini meningkat pada 2019 menjadi 1.221 hoax seiring dengan penyelenggaraan pemilu.

Namun pada 2020, hingga 16 November, Mafindo mencatat 2.024 hoax beredar di masyarakat. Padahal, pada Januari-November ada 712 hoax soal Covid-19. Kondisi ini menempatkan Indonesia di peringkat kelima dunia dalam teori rumor, stigma dan konspirasi tentang Covid-19.

DONASI, Dapatkan Voucher Gratis!

Dukungan Anda akan menambah semangat kami untuk menyajikan artikel-artikel yang berkualitas dan bermanfaat.

Sebagai ungkapan terima kasih atas perhatiannya, terdapat voucher gratis senilai donasi yang bisa digunakan untuk berbelanja di KONTAN Store.



Source