Secara tatap muka, mereka akan dapat bertukar bakteri dan virus satu sama lain.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pandemi Covid-19 di Indonesia sudah terjadi lebih dari setahun. Komite Pertimbangan Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI) prihatin jika imunisasi rutin dan imunisasi dasar lengkap untuk bayi, balita, dan anak sekolah diberikan terlambat – bahkan tidak mendapatkannya sama sekali padahal tatap muka sekolah di penglihatan – ada kekhawatiran bahwa wabah dapat terjadi.
Dokter Spesialis Anak dan ITAGI Soedjatmiko menjelaskan, ada tidaknya pandemi Covid-19, penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi seperti difteri, campak, pertusis, influenza, cacar, pneumonia dan lain-lain, akan terus ada. Kemudian sebelum pandemi terjadi, lanjutnya, banyak bayi meninggal akibat campak, diare, radang paru-paru, difteri.
Tapi ketika pandemi melanda, penyakitnya seolah-olah sudah berkurang. Bahkan mungkin karena anak-anak jarang keluar rumah, mereka yang bersekolah juga tidak bersekolah, sehingga nampaknya semakin berkurang.
“Namun jika banyak anak yang imunisasinya tidak lengkap, maka banyak bayi yang akan lahir pada tahun 2020 yang imunisasinya tidak lengkap atau tidak diimunisasi, kemudian jika terjadi wabah difteri atau campak atau polio atau influenza, maka dapat terjadi dua KLB, selain Covid-19 juga campak dan sebagainya, ”ujarnya saat mengisi konferensi virtual FMB9 bertema Pentingnya Imunisasi di Tengah Pandemi, Kamis (22/4).
Ia khawatir, jika sekolah tatap muka dimulai dalam beberapa bulan ke depan, dan siswa yang masih SD harus menyelesaikan imunisasinya seperti difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) tetapi tidak dilakukan, atau rubella campak (MR) imunisasi dan tidak mendapatkannya, maka ketika tatap muka akan terjadi pertukaran bakteri dan virus dapat terjadi. Akibatnya bisa mewabah di sekolah, katanya.
Tidak hanya itu, kata dia, ketika anak pulang dan merasakan sakit serta menularkannya ke anggota keluarga, adik atau kakak, maka epidemi bisa terjadi di dalam keluarga. Oleh karena itu, ia mengingatkan, jika imunisasi dasar secara rutin dan lengkap tidak diberikan secara lengkap, maka risiko terserang penyakit tersebut akan membuat kondisi anak semakin parah.
“Mulai dari bisa dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu yang lebih lama, bahkan bisa mengalami cacat atau meninggal dunia,” ucapnya.
Menurutnya, tentu akan merepotkan dan miris jika anak sendiri, cucu dan keponakan mengalaminya dan kemudian harus dirawat. Kondisi ini tentunya berbeda dengan anak yang sudah divaksinasi meski masih bisa terserang penyakit namun kondisinya jauh lebih ringan dan tidak berbahaya.
Oleh karena itu, Soedjatmiko meminta seluruh keluarga di Indonesia untuk melengkapi imunisasi bagi bayinya yang masih bayi, balita, anak sekolah hingga remaja.
“Yang belum lengkap buka catatan imunisasi dan langsung tanya (ke tempat imunisasi) boleh digandakan. Setiap tahun sekitar 22 juta anak Indonesia sudah diimunisasi dan tidak ada masalah,” ujarnya.
(function(d, s, id) { var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0]; if (d.getElementById(id)) return; js = d.createElement(s); js.id = id; js.src = "https://connect.facebook.net/en_US/all.js#xfbml=1&appId=417808724973321&version=v2.8"; fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs); }(document, 'script', 'facebook-jssdk')); Source