Godaan untuk Membuka Hubungan Diplomatik dengan Israel

Memuat …

Shamsi Ali
Diaspora Indonesia dan Imam di New York

AKHIR-baru-baru ini di bawah kekuasaan Amerika Donald Trump begitu proaktif dan tak henti-hentinya membujuk dan / atau menekan negara-negara Arab dan Islam untuk membuka hubungan diplomatik dengannya Israel . Hingga saat ini, beberapa negara termasuk Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan telah menandatangani hubungan diplomatik dengan Israel.

Hubungan diplomatik dengan beberapa negara Arab dan Muslim, ini juga menjelaskan arti kata “damai” yang digunakan Trump. Kedamaian Timur Tengah bagi Israel adalah pengakuan atau hubungan diplomatik dengan negara-negara Arab dan Islam. Atau yang biasa disebut rekonsiliasi antara Israel dengan negara Arab dan Islam. (Baca juga: Digoda AS untuk Normalisasi dengan Israel, Ini Respon Indonesia)

Artinya, kata “damai” sebenarnya hampir tidak berarti “perdamaian antara Israel dan Palestina”. Dengan kata lain, perdamaian yang dimaksud bukanlah terjadinya solusi permanen atas konflik Israel dan Palestina dengan kemerdekaan rakyat Palestina.

Inilah mengapa dalam empat tahun terakhir upaya perdamaian Timur Tengah sama sekali tidak melibatkan Palestina. Padahal, semua proses yang berjalan melibatkan negara lain, termasuk Arab Saudi, Emirates, Mesir, dan Yordania. Palestina tampaknya sengaja diabaikan dan dianggap tidak ada dalam proses ini. (Baca juga: Puan Tegaskan Indonesia Tidak Akan Buka Hubungan Diplomatik dengan Israel)

Pengakuan sepihak Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pemindahan Kedutaan Besar Amerika ke Yerusalem adalah bukti nyata dari kesewenang-wenangan ini. Segala sesuatu yang dilakukan melanggar berbagai resolusi PBB yang menyatakan bahwa Yerusalem adalah wilayah sengketa dan tidak boleh ada yang mengakuinya. Dan mungkin tidak ada perwakilan negara asing di kawasan itu hingga saat itu ada kesepakatan akhir antara Israel dan Pelestina.

Upaya Israel melalui tangan Amerika untuk menarik pengakuan dari negara Arab dan Islam akan terus dilakukan secara terbuka. Tidak tanggung-tanggung menggunakan suap, bahkan di saat bersamaan intimidasi.

Negara-negara seperti Emirat dan Bahrain diintimidasi dengan ancaman Iran. Bahwa jika negara-negara ini tidak mengakui Israel maka mungkin tidak akan mendapatkan pertahanan Amerika jika suatu saat Iran menyerangnya. Amerika tentu mengingatkan kita pada apa yang terjadi di Kuwait oleh Saddam Husain di masa lalu.

Sudan sendiri telah menerima bujukan Amerika untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel dengan melakukan barter untuk mengakhiri boikot berkepanjangan di negara Afrika tersebut. Apalagi, isu Darfur terus menjadi isu yang cukup meresahkan bagi negara yang kental dengan gerakan IM di era Omar Bashir ini.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Di luar negara Arab, Indonesia menjadi sasaran utama kampanye ini. Selain fakta bahwa Indonesia memiliki strategi penting di Asia Pasifik dan dunia Islam, Indonesia juga merupakan salah satu ekonomi besar dunia. Namun yang terpenting, Indonesia adalah negara Muslim terbesar yang sejalan dengan norma-norma modern dan terkesan lebih mudah dinavigasi.

Apalagi, baru-baru ini Adam Boehler, Chief Executive DFC Amerika, mengatakan jika Indonesia bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Israel, perusahaan pembiayaan pembangunan internasional Amerika Serikat bisa menggandakan penawaran sebelumnya sebesar USD1 miliar. (Baca juga: Pemerintah Malaysia Kecam Pelecehan Parodi Lagu Indonesia Raya dan Jokowi)

Selain itu, baru-baru ini ada Menteri Indonesia yang bertemu dengan Presiden Donald Trump di Gedung Putih, tepatnya di akhir masa kepresidenannya. Anehnya, yang menemani Donald Trump ke pertemuan itu adalah menantu laki-lakinya Jared Kushner yang juga penasihat senior Presiden untuk urusan Timur Tengah.

Apakah ini semua hanya “kebetulan” atau kebetulan dan bukan sesuatu yang direncanakan? Hanya mereka dan Allahu a’lam (Yang Maha Mengetahui).

Yang menggembirakan kemudian, hingga saat ini Kementerian Luar Negeri RI masih konsisten dengan posisi awal bahwa RI tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel selama negaranya masih menduduki negara Palestina.

Posisi Indonesia adalah keniscayaan. Dan sepertinya hingga saat ini belum ada alasan untuk berubah. Keharusan Indonesia tegas dalam menentang hubungan diplomatik karena beberapa alasan.

Pertama, Sebagai negara demokrasi, Indonesia tentunya akan selalu memperhatikan aspirasi masyarakatnya. Dan hingga saat ini tidak ada keraguan bahwa masyarakat Indonesia menentang hubungan diplomatik tersebut.

Saya yakin penentangan rakyat Indonesia ini pertama kali didorong oleh “keyakinan mayoritas” orang-orang yang menganggap kolonialisme. Bagi umat Islam, keyakinan “laa ilaaha illallah” juga merupakan keyakinan bahwa kolonialisme merupakan bentuk perbudakan yang harus dilawan.

Kedua, mungkin masyarakat Indonesia masih ingat bahwa salah satu negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Palestina. Jadi tentunya Indonesia masih sadar sejarah dan berterima kasih kepada bangsa Palestina. Hal ini tentunya juga didukung oleh semangat “solidaritas kemanusiaan” (humanitarian solidarity) bahwa kolonialisme memang merupakan bentuk tirani dan bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan.

Ketiga, dan ini tentu saja yang paling dasar. Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan jelas menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan oleh karena itu penjajahan di dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan kemanusiaan dan keadilan.

Saya yakin alasan ketiga ini menjadi dasar yang sangat kuat bagi Indonesia untuk tetap kuat dan konsisten menentang normalisasi hubungan dengan Israel. Padahal selama Israel masih berstatus penjajah bangsa Palestina, selama itu Indonesia tidak pernah dibenarkan dalam konstitusi untuk membuka hubungan diplomatik.

Dan jika pemerintah Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel, maka otomatis pemerintah tersebut melakukan pelanggaran nyata terhadap konstitusi negara. Dan melanggar Konstitusi jika di Amerika bisa menjadi dasar (ground) untuk membubarkan pemerintah atau populer dengan impeachment.

Bukan Anti-Yahudi
Terakhir, saya ingin tegaskan sekali lagi bahwa kedudukan Republik Indonesia (dan diri saya sendiri) tidak boleh dimaknai sebagai kebencian terhadap pemeluk agama Yahudi. Karena sebenarnya Islam tidak membenci orang lain hanya karena beda agama.

Banyak yang tahu bahwa saya di Amerika Serikat yang aktif membangun dialog antar agama, termasuk dengan para pemimpin Yahudi. Bahkan, saya pernah menulis buku dengan seorang pendeta Yahudi berjudul “Anak-anak Ibarahim: masalah yang mempersatukan dan membedakan antara orang Yahudi dan Muslim”.

Buku kami saat ini sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Ibrani (bahasa resmi orang Yahudi) dan diluncurkan di Dubai beberapa hari yang lalu. Saya pribadi tidak menghadiri acara peluncuran karena sudah ada agenda lain. Tetapi juga karena saya masih memiliki sikap yang tegas terhadap normalisasi hubungan antara negara-negara Islam dan Israel.

Harapan kami suatu saat nanti rakyat Palestina akan merdeka. Yang pasti banyak ditentukan oleh “kemauan politik” Israel untuk memulihkan hak-hak Palestina seperti dalam perjanjian 1967. Di mana Palestina memiliki negara berdaulat dan menjadi tetangga yang baik bagi Israel.

Pada saat itulah Indonesia dan negara-negara Muslim dapat menjalin hubungan diplomatik yang normal dengan Israel seperti halnya dengan negara-negara lain di dunia.

Saya tidak tahu kapan. Sungguh hanya Allah yang tahu!

New York, 28 Desember 2020

(poe)

Source