Bosnya digugat oleh PKPU, karena utang Sritex hampir Rp. 10 T

Jakarta, CNBC Indonesia – Gelombang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) kembali terjadi. Kali ini PT Bank QNB Indonesia Tbk (BKSW) mengajukan gugatan PKPU terhadap pemilik emiten tekstil, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), Iwan Setiawan Lukminto, dan anak usaha SRIL, PT Senang Kharisma Textil.

Gugatan ini didaftarkan oleh Bank QNB di Pengadilan Negeri (PN) Semarang dengan nomor perkara 13 / Pdt.Sus-PKPU / 2021 / PN Niaga Smg pada Selasa (20/4/2021).

Hingga saat ini, Iwan dan Sritex belum memberikan keterangan resmi terkait gugatan PKPU tersebut.

Di balik gugatan tersebut, perseroan justru mengalami masalah keuangan yang cukup berat. Pasalnya, tahun ini hingga tahun depan perseroan memiliki jumlah utang yang akan jatuh tempo cukup besar.

Hutang ini dalam bentuk pinjaman sindikasi yang rencananya akan direstrukturisasi oleh perseroan, namun hingga saat ini belum mendapat persetujuan dari Mandated Lead and Arranger Bank (MLAB).

Hal tersebut diketahui dari keterbukaan informasi yang disampaikan perseroan ke Bursa Efek Indonesia (BEI). Hutang sindikasi tersebut bernilai hingga US $ 350 juta atau setara dengan Rp 5,07 triliun (kurs Rp14.500 / US $) yang jatuh tempo pada tahun 2022.

Dinyatakan sesuai rencana, pinjaman ini akan ditandatangani perseroan dan MLAB pada 19 Maret 2021. Namun, ternyata perpanjangan pinjaman alias restrukturisasi gagal dilakukan perseroan.

“Proses restrukturisasi Perseroan dalam hal pembayaran kembali pinjaman sindikasi tersebut saat ini sedang dalam pembahasan dan review dengan Financial Advisor dan Legal Advisor kami. Kami berharap Bursa Efek Indonesia dapat memberikan ruang dan waktu kepada kami untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi semua. pihak, ”tulis perusahaan dalam pernyataannya, dikutip, Kamis (22/4/2021).

Hal ini mendorong lembaga pemeringkat Fitch Ratings memutuskan untuk menurunkan peringkat Sritex menjadi CCC- dari B- awal bulan ini.

Ini adalah kali kedua Fitch menurunkan peringkat perusahaannya dalam dua bulan berturut-turut, setelah sebelumnya diturunkan dari BB- menjadi B-.

Dalam pernyataan Fitch Ratings, saat ini perusahaan berada pada posisi likuiditas yang lemah sedangkan kebutuhan pembiayaan kembali utang perusahaan tinggi.

Pasalnya, dari posisi likuiditas perseroan pada akhir 2020, nilai kas mencapai US $ 187 juta atau Rp 2,71 triliun.

Namun, jumlah utang yang akan jatuh tempo tahun ini saja mencapai US $ 277 juta atau lebih dari Rp 4 triliun, nilai ini di luar sindikasi sebelumnya yang sebesar US $ 350 juta.

Jadi, utang yang harus dibayar hampir Rp 10 triliun.

“Akses fasilitas ini dan perpanjangan pinjaman sindikasi menjadi kunci penunjang posisi likuiditas perseroan,” tulis Fitch.

Selain dua utang tersebut, secara berturut-turut perseroan masih memiliki obligasi senilai US $ 155 juta atau Rp 2,25 triliun sehingga akan jatuh tempo pada 2024 dan obligasi senilai US $ 225 juta atau Rp 3,26 triliun dengan batas tanggal terakhir (jatuh tempo) pada tahun 2025.

[Gambas:Video CNBC]

(tas tas)


Source