Banyak Orang Ragu Dengan Vaksin Covid-19, Kenapa Bisa Terjadi? Semua halaman

KOMPAS.com – Beberapa kandidat vaksin Covid-19 dengan tingkat keamanan dan efektivitas tinggi mulai bermunculan pada akhir tahun 2020.

Sejumlah negara juga telah mengeluarkan izin penggunaan darurat (EUA) untuk penggunaan vaksin. Namun di sisi lain, masih ada kelompok anti vaksin atau masyarakat yang ragu untuk divaksinasi.

Bukan hanya kali ini fenomena seperti ini muncul. Dari berbagai hasil penelitian literatur yang telah dipublikasikan oleh sejumlah jurnal internasional terakreditasi, dinyatakan bahwa keraguan (keraguan) dan penolakan (penolakan) terhadap vaksin telah menjadi fenomena yang ditemukan jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi.

Baca juga: Apakah Hidup Berubah Setelah Vaksin Covid-19 Tersedia?

Artinya, keraguan bahkan penolakan terhadap vaksin tidak hanya terjadi pada vaksin Covid-19.

Menurut Dr. Endang Mariani, M.Psi. Pengamat dan praktisi Psikososial Budaya, lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, fenomena ini merupakan reaksi yang wajar.

Hal tersebut mengingat pandemi Covid-19 akibat virus corona SARS-CoV-2 masih baru dan vaksin yang akan diberikan tentunya masih baru. Beberapa vaksin masih dalam tahap penelitian dan uji coba.

Namun sebagian besar kalangan medis dan WHO meyakini bahwa vaksin merupakan solusi yang diharapkan mampu menjadi upaya preventif atau mitigasi untuk mencegah, memutus, atau setidaknya memperlambat proses penularan dan penularan suatu penyakit, termasuk Covid- 19.

“Sebagai perbandingan, dari hasil pengisian Joint Reporting Form yang dilakukan WHO dan UNICEF pada 2015-2017, lebih dari 90 persen negara melaporkan keraguan tentang vaksin,” kata Endang yang juga Koordinator Psikologi Medis Nasional. Tim Relawan untuk Satuan Tugas Penanganan Covid. 19.

“Penemuan ini tentunya bukan tidak berarti, dan perlu dicari faktor-faktor penyebabnya,” ujarnya Kompas.com dalam penjelasan tertulis.

Dari berbagai penelitian di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, China dan juga di Indonesia ditemukan bahwa sebagian besar masyarakat (rata-rata berkisar lebih dari 50-60 persen) bersedia untuk divaksinasi.

Petugas melakukan pengecekan kontainer berisi vaksin COVID-19 saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (6/12/2020).  Sebanyak 1,2 juta dosis vaksin COVID-19 buatan perusahaan farmasi Sinovac, China, tiba di Indonesia untuk diproses lebih lanjut ke Bio Farma sebagai produsen vaksin milik negara.ANTARA FOTO / DHEMAS REVIYANTO Petugas melakukan pengecekan kontainer berisi vaksin COVID-19 saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (6/12/2020). Sebanyak 1,2 juta dosis vaksin COVID-19 buatan perusahaan farmasi Sinovac, China, tiba di Indonesia untuk diproses lebih lanjut ke Bio Farma sebagai produsen vaksin milik negara.

“Tapi (mau divaksinasi) dengan catatan, sudah ada rekomendasi dari penyedia layanan kesehatan, keamanan vaksin terjamin, tidak membahayakan kesehatan, efek samping baik jangka pendek maupun jangka panjang terbukti tidak ada atau sangat minim, efektivitas vaksin sudah teruji berdasarkan bukti klinis, tendensi politik mendukung, vaksin halal dijamin, akses vaksin dengan biaya terjangkau tersedia, ”kata Endang.

Psikolog yang juga peneliti asosiasi di Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi UI ini mengatakan, hal tersebut tak lepas dari peran media sosial dalam menyebarkan informasi seputar vaksin Covid-19.

Baca juga: Vaksin Covid-19 Gratis, Penggunaannya Menunggu Izin BPOM dan Sertifikasi Halal MUI

“Tidak bisa dipungkiri ada kelompok anti vaksin yang terus menyebarkan berita, beberapa di antaranya merupakan informasi hoax yang tidak bisa dipercaya,” ujarnya.

Sejumlah pendapat pun terbentuk antara lain tentang bahaya vaksin baru ini, terutama mengenai efek samping jangka panjang yang tidak berbasis bukti sehingga terkesan tergesa-gesa.

Pasalnya, untuk bisa merilis vaksin biasanya membutuhkan penelitian dan uji coba bertahun-tahun dan bahkan membutuhkan waktu hingga lebih dari satu dekade.

Pendapat lain adalah keraguan yang muncul akibat informasi tingkat efektivitas yang hanya berkisar 50-60 persen, sedangkan uji coba atau uji klinis masih berlangsung.

Adanya persekongkolan politik dengan tujuan tertentu, hanya untuk kepentingan bisnis, pelanggaran hak kebebasan publik jika ada ‘paksaan’ untuk divaksinasi, dll, merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat untuk ingin divaksinasi. divaksinasi, “kata Endang.

Ia melanjutkan, tentunya apa yang disampaikan kelompok anti vaksin ini juga punya alasan dan latar belakang.

Kanada telah memiliki cukup vaksin untuk memvaksinasi seluruh penduduknya sebanyak lima kali.REUTERS melalui BBC INDONESIA Kanada telah memiliki cukup vaksin untuk memvaksinasi seluruh penduduknya sebanyak lima kali.

Di sisi lain, kelompok pro vaksin juga gencar menyampaikan pentingnya vaksin Covid-19 sebagai solusi untuk menghentikan pandemi Covid-19.

Keberhasilan uji klinis vaksin Covid-19 dengan tingkat keefektifan dan keamanan yang tinggi, dengan efek samping yang tidak membahayakan kesehatan, terus disebarluaskan kepada masyarakat.

Oleh karena itu, agar dapat meminimalisir keraguan dan penolakan vaksin, sehingga target minimal 70 persen masyarakat ingin divaksinasi secara tuntas agar tercipta. kekebalan kawanan atau kekebalan komunal.

Caranya dengan sosialisasi dan edukasi yang masif dan tepat sasaran, sehingga yang terbentuk adalah kesadaran dan bukan paksaan.

“Masyarakat harus dilibatkan untuk menentukan solusi terbaik bagi masalah besar yang juga mempengaruhi kehidupan mereka,” kata perempuan yang juga guru honorer FISIP UI ini.

Selain itu, upaya menghadirkan vaksin di tengah pandemi, menurut Endang, menjadi harapan di tengah ketidakpastian berkepanjangan kapan pandemi ini akan berakhir.

Vaksin Covid-19 dapat menjadi solusi alternatif untuk menghentikan pandemi yang telah menghancurkan berbagai aspek kehidupan manusia.

Tapi vaksin tentu bukan satu-satunya senjata untuk melawan Covid-19.

Baca juga: WHO: Banyak Negara Asia Pasifik Terima Vaksin Pertengahan Hingga Akhir 2021

Dari pengalaman dan berbagai penelitian yang telah dilakukan, salah satunya oleh University of the Sciences di Philadelphia dan Eurofins Lancaster Laboratories Inc, Malvern, Philadelphia di Amerika Serikat menyatakan bahwa intervensi farmakologis tidak akan berhasil tanpa adanya intervensi non farmakologis.

Di sinilah peran ilmu-ilmu sosial dan perilaku seperti psikologi, sosiologi, antropologi dan komunikasi menjadi sangat penting, kata Endang.

Adaptasi kebiasaan dan norma baru serta perubahan perilaku sosial, seperti disiplin penerapan protokol kesehatan yang ketat, sesuai dan tepat, serta menjaga kekebalan tubuh menjadi kunci untuk menghindari kemungkinan terpapar virus penyebab CoVID-19. . “

Source