VIVA – Berdasarkan data Riskesdas 2018, satu dari tiga balita Indonesia tercatat menderita anemia. Dari data tersebut, sebanyak 50-60 persen kasus anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi.
Kekurangan zat besi adalah kondisi ketika tingkat ketersediaan zat besi dalam tubuh kurang dari kebutuhan sehari-hari. Sebagai bagian dari hemoglobin, fungsi utama zat besi adalah menghantarkan oksigen dari paru-paru untuk digunakan oleh bagian-bagian tubuh anak. Tanpa zat besi, organ tubuh tidak mendapatkan oksigen yang cukup, yang menyebabkan terganggunya perkembangan anak, baik kognitif, fisik, maupun sosial.
Apa dampak fisik dari anemia?
Kekurangan zat besi tidak hanya berdampak pada pertumbuhan, tapi juga pada perkembangan anak. Kondisi ini menghambat kemampuan anak untuk berkonsentrasi. Walaupun konsentrasinya tidak maksimal, maka daya tangkap anak akan berkurang.
“Daya ingatnya juga kurang optimal dan rentan terhadap masalah kognitif lainnya seperti kesulitan menganalisis dan menarik kesimpulan, kesulitan memecahkan masalah, dan tidak kreatif,” kata Psikolog Anak dan Keluarga Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Sc. , dalam acara virtual. dengan Danone, beberapa waktu lalu.
Apa dampak psikologis dari anemia?
Nanti ketika memasuki usia sekolah, ia rentan kesulitan belajar dan setelah dewasa ia rentan kesulitan menghadapi persaingan di dunia kerja. Nantinya, kendala tersebut dapat membuat anak merasa tidak aman, murung, dan sulit bersosialisasi.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan gizi harian anaknya, dan senantiasa memberikan stimulasi yang tepat untuk mendorong tumbuh kembangnya menjadi anak generasi maju yang berpikir cepat, bertumbuh tinggi, tangguh, aktif bersosialisasi, dan yakin, “tambahnya. Nina, nama panggilannya.
Pencegahan
Beberapa stimulasi diperlukan untuk mencegah anemia akibat kekurangan zat besi. Salah satunya dengan merangsang tinggi badan melalui nutrisi. Nina mengatakan nutrisi harus memenuhi zat besi seperti protein hewani ditambah vitamin C agar penyerapannya lebih baik. Selain itu, stimulasi tubuh dapat memberikan rumah yang ramah anak.
“Beri anak ruang yang aman untuk bergerak, seperti tepi meja, jangan lancip sehingga mencegah cedera saat bermain. Lantai jangan licin, barang berbahaya jangan sampai mudah dijangkau anak,” kata Nina.
Selain itu, rangsang rasa percaya diri dengan membiarkan anak memilih sendiri kesukaannya. Misalnya saat mengenakan pakaian, beri kesempatan pada anak untuk memilih pakaian yang diinginkan.
“Beri pujian saat melakukan perilaku yang baik agar melatih diri untuk menjaga diri sendiri seperti makan sendiri, mandi sendiri. Anak akan lebih ceria saat makan,” terangnya.
Jangan lupa, pastikan bahasa induk diberikan dengan baik agar anak paham dan bisa berkomunikasi dengan baik. Ini merupakan salah satu bentuk stimulasi aktif untuk bersosialisasi agar anak lebih mudah menyerap makanannya.